Kamis, 19 Mei 2011

"Eksistensi Partai Poltik"

      Saya mulai bahasan ini dengan mempertanyakan siapakah politisi itu? Kebanyakan orang mengidentikkan politisi sebatas orang yang aktif dalam kegiatan kepartaian. Pendapat ini tidak seratus persen benar, tetapi juga tidak seratus persen salah. Setiap orang sesungguhnya adalah seorang politisi, sepanjang orang tersebut berada dalam interaksi sosial, maka aktivitas politik tak mungkin dihindari. Bahkan dalam kehidupan keluarga harus melibatkan proses konflik dan konsensus, distribusi tugas dan tanggung jawab, menghadap orang lain, mengikuti kemauan salah satu pihak, maka disinilah terjadi Proses Politik.
     Contoh sederhana diungkapkan oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal--guru besar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta : ketika dua orang sama sama ingin minum jenis minuman yang sama (kopi misalnya), maka tidak perlu ada polemik. Tetapi, ketika beranjak ke pertanyaan dimana minumnya? Atau kapan minumnya? Maka satu sama lain saling menawarkan konsep untuk mendapat kesepakatan bersama. Bila tempat dan waktu yang disodorkan berbeda, pastilah salah satu harus mengalah, salah satu harus menyesuaikan dengan yang lain. Bila keduanya saling ngotot pada konsepnya masing masing, maka tidak akan pernah terjadi acara minum kopi bersama.
     Setiap individu adalah politisi yang membedakan adalah partisipasi politiknya. Bisa berdasarkan kontek, cakupan berpolitik, dan isi dalam politik. Dalam konteks politik bernegara, maka cakupan kerja politik adalah bagaimana dirinya secara aktif turut serta dalam mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Isi dalam partisipasi politik bisa berwujud tuntutan (demand) dan dukungan (support).
     Saluran yang secara ersmi digunakan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan keputusan politik menurut saya ada dua jalur, yakni jalur parpol dan jalur sosial. Menurut saya, jalur parpol lebih efektif karena secara langsung bisa mengakses pusat pusat kekuasaan. Jabatan jabatan publik bergulir melaui saluran kepartaian; penentuan alokasi APBN dan APBD secara tidak langsung melalui tangan tangan parpol di fraksi fraksi legislatif maupun kabinet; pertarungan rancangan perundangan harus melalui pintu masuk legislatif meskipun rancangannya berasal dari eksekutif; kontrol terhadap jalannya pemerintahan di legislatiflah tempatnya. Dengan demikian saya berpendapat, bahwa sumber daya manusia yang mengendalikan parpol haruslan berkualitas, baik dilihat dalam segi moral, kompetensi sosial, maupun intelektual.
     Kita semua tahu bahwa pengisian jabatan publik , proses rekruitmennya melalui parpol. Maka logikanya partai haruslah menyiapkan kader kadernya untuk mengisi peluang tersebut. Jabatan publik ini sangat penting karena dalam kurun waktu tertentu akan menjalankan roda pemerintahan. Bila kader yang ditempatkan pada posisi tersebut tidak qualified yang bisa dilihat dari rendahnya kinerja, maka disadari atau tidak akan meluruhkan reputasi parpol. Apalagi bila sampai si kader parpol ini membuat skandal yang menggemparkan masyarakat, maka citra partai menjadi taruhannya.
     Kualifikasi kader ini acap kali kurang mendapat perhatian parpol. Meskipun di dalam struktur partai ada bidang Keorganisasian atau Sumber Daya Manusia (SDM), maka pekerjaannya, biasanya, hanya membuka anak cabang arau ranting ranting di daerah. Soal siapa yang memimpin Cabang belumlah sempat dikaji secara mendalam. Acapkali yang menjadi pertimbangan hanya sebatas kualifikasi mempunyai jaringan sosial. Itu saja.
      Sementara jaringan sosial macam apa, tidak dipersoalkan. Padahal jaringan sosial itu banyak macamnya. Para preman yang pekerjaannya memeras para pedagang di Pasar Tanah Abang juga punya jaringan cukup besar, pengedar narkoba juga punya jaringan yang solid, para germo PSK/Gigolo punya jaringan juga, para penggemar judi ya punya jaringan. Nah, kalau kriterianya pokok punya jaringan, betapa bahayanya bila salah satu di antara mereka berhasil menggenggam jabatan publik? Yang rugi pasti partai dan yang celaka pasti rakyat.
     Ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja parpol masih menyamakan dirinya dengan pedagang sayur. Yang penting barangnya laku, soal siapa yang membeli tak ambil pusing, 'Emangnya gue pikirin'.
     Jika produk yng dijual sebatas sayur-mayur, memang tidak punya efek apa-apa, siapapun yang membeli atau yang mengkonsumsinya. Sayur itu sifatnya netral, asalkan dimasak dengan baik dan tidak beracun, maka di dalam perut siapaun bisa mengenyangkan. Eek sayur tidak membedakan apakah dia itu pejabat sipil, kiyai, militer, dosen, dukun, ataupun garong, pokok dikunyah, masuk ke dalam perut bersama nasi, efeknya kenyang. Itu saja!
     Beda dengan produk politik, produk politik itu sangat abstrak tapi menentukan nasib banyak orang. Bila merancangnya salah, tujuannya penuh dengan kepentingan (vested of interest), maka bisa membahayakan banyak orang.
     Karena itu, SDM yang mempunyai kualifikasi intlektual dan moral menjadi sangat penting. Sayangnya, parpol justru sering kali resisten kalu tidak boleh dibilang alergi) terhadap SDM semacam ini. Katanya, mereka itu sering kali dituduh sangat idealis, sehingga dikhawatirkan sangat menyulitkan partai.
     Saya sendiri tak habis pikir, mengapa orang yang mempunyai idealisme justru dihindari oleh partai? apakah ini suatu pertanda bahwa partai partai yang berdiri dan berkembang tanpa idealisme. Barati yang berjalan selama ini tak lebih dari sekedar pragmatisme belaka.
     Padahal, bila partai mampu mengakomodir personal seperti itu,  banyak manfaat yang bisa didapat. Orang idealis itu biasanya punya gagasan yang banyak, maka partai dapat menyerapnya untuk tujuan keinovasian. Dengan demikian, partai terhindar dengan kejenuhan (overload). Sebaliknya,partai menjadi dinamis karena diversifikasi sinergi, program dan human relation-nya.
     Partai baru merasakan betapa minmnya SDM yang dipunyai ketika proses rekruitmen politik terjadi. Tiba-tiba bingung mencari figur yang layak. Banyak orang di dalamnya tapi tak ada yang layak jual. Akhirnya partai ini klimpungan mencari sosok di luar partai. Jika kaderisasi di tubuh partai berjalan baik, tidak mungkin sosok semacam Dr. Alisyhbana dan atau Ir. Elangga Satriya Agung terpilih menjadi calon walikota Surabaya, sebab keduanya tokoh yang dibesarkan di luar partai.
     Alasan lain, mengapa SDM yang punya moralitas dan intlektual bagus tidak terakomodir di dalam partai, dugaan saya, karena kuatnya klik klik pragmatisme yang senantiasa berusaha mengabadikan status quo. Dengan mengatasnamakan nilai hostoris partai misalnya, mereka menempatkan dirinya seolah olah sebagai 'pemilik' partai. Mereka menganggap pemilik saham paling besar dalam partai yang diidentikan dengan perusahaan.
     Maka lama kelamaan, partai yang jargonnya 'terbuka' pun justru berprilaku sangat tertutup (eksklusif). Inilah awal  mulai menurunya kredibilitas partai di mata masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri, bahkan kepentingan seglintir orang di dalamnya. Sampai ada yang bilang, janji janji orang partai itu ibarat kentut busuk penuh racun. Duh!
     Indikator yang paling mencolok turunnya wibawa partai antara lain, terpilihnya Bambang Susilo Yudhoyono (SBY) dalam pemilu presiden 2004 dan 2009. Fenomena tersebut membuktikan bahwa performa SBY sebagai individu mampu mengalahkan kebesaran partainya sendiri (Partai Demokrat), bahkan parpol parpol besar lainnya.
     Menurunya wibawa partai sesungguhnya seuah gejala patologis dalam sistem politik, sebab partai yang semula diharapkan mampu menjadi saluran bagi lalu lntas kepentingan dan kekuatan, menjadi tersumbat. Salah satu hakekat partai adalah mengabstraksikan konflik yang ada dibawa ke dalam dislokasi sistematis.
     Gesekan gesekan kepentingan di akar rumput coba dialihkan ke saluran partai untuk dicarikan solusi. Jika partai sudah tidak dipercaya menampung saluran itu, maka aliran konflik menjadi sulit mencair (bahkan tersumbat). Konflik horisontal sering meletus di tingkat bawah tak lain disebabkan hilangnya fungsi kanalisasi partai politik.
     Jadi, partai itu merupakan salah satu pilar sangat penting dalam kehidupan politik, namun sekaligus juga menjadi faktor destruktif bila tidak berfungsi secara baik. Kecendrungan eksklusif dari sebagian partai inilah yang sekaligus menjadi sebab mengapa SDM yang punya dedikasi moral dan intlektual relatif bagus menjadi alergi terhadap parpol. Sedangkan mereka yang terlanjur masuk, biasana menjadi tak mampu berbuat apa apa karena besarnya hegemoni paham pragmatisme dan oportunisme. Atau bahkan, mereka itu tak tahan menghadapi gempuran, sampai akhirnya memilih larut dalam kecendrungan destrukstif.
      Sayang memang, SDM potensial yang semestinya bisa mewarnai kehidupan politik secara lebih baik ini, justru tidak terberdayakan. Selanjutnya, dari segi partisipasi poltik, mereka bisa jatuh dalam derajat apatisme yang paling rendah, palng dasar.
     Sampai di sini saya tetap berkeyakinan, partai politik masih tetap merupakan saluran utama dalam proses politik. Saluran saluran lain, sosial misalnya, mesti harus melalui parpol bila ingin mempengaruhi agenda politik. Seperti Ormas Muhammadiyah misalnya, banyak warganya, yang menyalurkan aspirasi melalui Partai Amanat Nasional (PAN) atau warga Nahdlotul Ulama (NU) banyak menyalurkan aspirasinya melalui KPB (Partai Kebangkitan Bangsa).
     Sedangkan figur yang hanya mengandalkan kekuatan personalnya (sering disebut sbg kalangan independen) hanya berhasil menjadi rujukan (refrensi) moral belaka. Misalnya kita sebut disini (almarhum) Prof. Dr. Nurcholis Majid (Cak Nur), pendapatnya sangat diperhitungkan sebagai kajian, sosoknya sering dimanfaatkan secara manipulate oleh orang orang  yang ingin menyerap pengarush (power and influencea) untuk kepentingan memperluas dukungan (misalnya, calon.x minta restu  kepadanya, lalu diekspose di dalam media massa). pemikiran dan sikap Cak Nur sangat diminati banyak kalangan partai, tetapi begitu sosoknya sendiri ditawarkan, resistensinya sangat tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar