Sabtu, 21 Mei 2011

Membangun Budaya Politik Parpol

     Berbicara tentang budaya politik (plotical culture) mau tidak mau harus memperhatikan tiga konsep besar, yakni; nlai (values), norma (norms) dan etika (ethics). Bahkan tiga hal tersebut saling menunjang dan sering kali saling kait mengkait.
     Nila (values) adalah sesuatu yang dijunjung tinggi karena dianggap penting dan merupakan panduan bagi pemiliknya dalam pencarian jati diri. karena sifatnya yang sangat penting, maka harus dikedepankan, harus menjadi skala prioritas, sekaligus menjadi barometer untuk memilah dan memilih.. Memilah mana yang layak dan  tidak layak, memilih mana yang berbobot dan tidak. Memilah mana yang perlu dibela dan mana yang cukup dibiarkan saja. Akhirnya juga untuk memilih apakah sesuatu itu layak dipikirkan dan diperjuangkan.
     Semua itu tergantung pada nilai yang ditetapkan oleh  organisasinya. Suatu parpol yang mengambil konsep kebangsaan dan kerakyatan sebagai nilai misalnya, maka parpol ini mempunyai konsekwensi agar apa yang dipikrkan, disikapi dan diperjuangkan tak lepas dari wilayah itu. Bila sikap, prilaku, danperjuangan partai justru lebih banyak membela kepentingan konglomerat dan sebaliknya membiarkan  (rakyat jelata) terinjak injak haknya, maka partai ini tidak menjadikan nilai kebangsaan da kerakyatan sebagai identitasnya. Mungkin hanya sekedar atribut simbolik yang fungsinya dibatasi pada mobilisasi dukungan. Itu bukan nilai namanya, tapi sekedar untuk abang abang lambe.
      Nilai bagi parpol adalah sebuah kehormatan, suatu harga diri, dan suatu komitmen. Jadi, kalau ada anggota parpol yang sering melanggar nilainya sendiri, maka itu pertanda bahwa yang bersangkutan tidak punya komitmen beraktualisasi melalui wadah parpol.
     Mungkin yang bersangkutan aktif di parpol sekedar iseng belaka, sekedar kararsis. Katarsis itu analog dengan orang yang mampir ke WC umum untuk buang hajat, setelah kebutuhan hajatnya terpenuhi, lalu pergi begitu saja, tanpa ada rasa tanggng jawab membersihkan kotorannya. Ia menganggap bahwa buang kotoran adalah haknya, sedang siapa yang membersihkan tidak mau tahu. Yang jelas orang inilah yang disuruh membersihkannya.
     Nilai bagi parpol haruslah mewarnai sampai ke level yang sedetil detilnya. Perencanaan, program aksi, sampai ke atribut fisik pun semestinya mewadahi nilai yang dirumuskannya sendiri. Dengan demikian, nilai itu mengalami proses pendarahdagingan, merasuk dalam setiap sendi kehidupan anggotanya.
     Nilai memang tidak berbicara soal target, soal hasil, dan aspek fisikal kuantitatif lainnya. Tidak ! nilai adalah suatu abstraksi. Artinya, nlai itu memberi inspirasi dan motivasi dalam berkreasi bagi anggotanya.      
      Memang dibanding pintu masuk yang lain (misal kekuaaan ekonomi, kekuasaan politik, ataupun kekuasaan koersif), kekuasaan nilai ini tidak memiliki daya dorong yang kuat. Bahkan juga tidak memiliki daya paksa yang handal. Kekuasaan nilai lebih bersifat simbolik.
      Karena itu lingkup kerjanya sebatas di wilayah 'kesadaran' (awarness) individu. Boleh dikata, cara kerja nilai merayap, lambat, bersifat akumulatif dan evolusioner. Butuh waktu bertahun tahun, berpuluh tahun bahkan ratusan tahun untuk mencapai tingkat induktif (induction) yang meluas.
     Meskipun lambat dan evolusioner, peran nilai jangan diremehkan. Bila sebuah nilai telah berhasil menjadi ranah keyakinan masyarakatnya, maka nilai itu dapat menjadi lokomotif penggerak masyarakat (social movement) yang sangat efektif. Para anggotanya bisa menjadi militan dalam menjaga nilai nilai tersebut.
     Bila sistem nilai bersatu dengan sistem  keyakinan, tak ada kekuasaan lain (kecuali kekuasaan Tuhan) yang mampu mencegah mobilisasinya. bagi invidu, sistem nilai yang demikian itu, identik dengan kehormatan, harga diri, dan bahkan melebihi harga nyawanya sendiri. Hidupnya sendiri. Orang jawa yang loyal terhadap nilai nilai perjuangan tertentu bisa berbuat sesuatu hingga titik darah penghabisan. Persis seperti yang tersurat dalam jargon; rawe rawe rantas, malang malang putung; pecah ing dada mutah ing ludira. membela keyakinan itu nyaris menyamai prilaku jihad fii sabiilillah. Perang di jalan Allah demi menegakkan agama. Mereka yakin bahwa perangainya itu dijamin akan diganti dengan surga di akhirat kelak.
     Kekuasaan simbolik menurut JB Thomson dalam D. Michel--edt (Communication Theory Today, Cambridge, l991), didefinisikan kemampuan menggunakan bentuk bentuk simbolik untuk mencampuri dan mempengaruhi jalannya aksi atau peristiwa.
     Selanjutnya disebutkan bahwa kekuasaan itu mempunyai banyak bentuk. Kekuasaan ekonomi misalnya, dilembagakan dalam industri, kekuasaan politik dilembagakan dalam aparatur negara, kekuasaan koersif dilembagakan dalam organisasi militer, dan sebagainya.
     Menurut saya, kekuasaan nilai dilembagakan dalam pola pikir. aya lebih tertarik dalam ranah pola pikir, sebab ketika sistem nilai dilanjutkan dalam praksis maka pola pikir akan jatuh ke pola emosional; seperti prasangka, iri dengki, skeptisme membabi buta, dan ekspresi melu grubyuk ga weruh ngrembuk (sekedar ikut ikutan walau tak tahu pokok persoalan)
     Tetapi bila melalui pola pikir, maka tindakannya yang mengacu pada nila tertentu itu sudah berdasarkan evaluasi kritis, sudah melalui pertimbangan yang rasional, sehingga yang bersangkutan mengetahui alasan alasannya mengapa mesti harus berbuat sesuatu.

     Kekuasaan lainnya itu sesungguhnya juga merumuskan nila nilai tertentu sebagai instrumen epistemologis, suatu perangkat makna untuk melegitimasi kekuasaannya.Misal dalam militer, perbuatan disersi adalah suatu perbuatan yang dilarang dan memiliki sanksi yang berat. Hal tersebut karena dalam militer menjunjung tinggi (nilai) dokma sistem komando, loyalitas terhadap atasan, dan sentimen corp.
     Saya ingin menegaskan sekali lagi, bahwa nilai itu merupakan suatu sendi yang menentukan kekohan dalam organisasi.
     Apalagi dalam parpol, nilai bukan bukan hanya sekedar penting, tapi merupakan jati diri kelembagaan. Eksistensi suatu parpol bisa terbaca dari pencitraan simbolik. Penerimaan masyarakat terhadap parpol dapat ditengarai dar brand image--nya.
     Suatu nilai, bentuk dan orentasinya harus menyesuaikan dengan obyeknya. Nilai temtang 'Untung atau Laba' misalnya, lebih pantas dirunjuk untuk urusan perdagangan. Dia akan menjadi paradoks jika diterapkan dalam masalah amal jariyah . Dalam masalah amal jariyah rumusan nilai yang lebih tepat adalah ikhlas atau mengharap ridlo dari Allah semata. Displin fisikal misalnya, lebih cocok untk kalangan militer, ia justru bersifat restriksi di kalangan seniman.
     Selanjutnya nilai 'gotong royong', 'saling tolong menolong' dan 'kerjasama' adalah nilai nilai yang sangat diharapkan dalam ranah kebaikan (konstruktif), tapi menjadi sebaliknya (destruktif) ketika diterapkan untuk menggarong, membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa, atau untuk sindikalisme penguasaan asset orang lain.
     Nilai konflik hanya cocok untuk karya fiksi, bila dijadikan etos dalam proses sosial justru menyebabkan dis-integrasi.
     Nah, dalam politik, nilai apakah yang relevan?
     Politik adalah hal-hal yang bersangkut paut dengan urusan kemaslahatan ummat. Jadi, orentasinya bukan individualtas. Kalau ada partai yang orentasinya individualitas, pasti punya manifestasi yang semakin jauh dari kemaslahatan ummat. Soal seperti apa rumusannya, hal itu sangat tergantung pada kepiawaian partai masing masing.
     Rmusan yang relevan bagi kemaslahatan ummat, tak jauh dari konsep keadilan, transparasi, demokrasi, kesejahtraan rakyat, kemanusiaan, dan sebagainya.
     Nilai nilai yang dirumuskan oleh partai tujuannya membebaskan dari belenggu dan menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Masalahnya, acapkali nilai nilai yang sudah baik itu dipergunakan oleh rezim tertentu hanya sebatas demikepentingan mempertahankan status quo, sehingga efeknya tidak membebaskan, tetapi justru membelenggu. Akhirnya kebeasan hanya sebatas retorika simbolik sementara praksisnya menjadi kohersif dan hegemonik.
     Orde Baru sebagai contoh, sangat piawai membungkus tujuan tujuan koersif dan otoritaria dengan simbol simbol yang menawan hati. Akhirnya nilai hanya sekedar berfungsi sebatas ratio instrumental belaka. Kata kata 'persatuan dan kesatuan' diintrodusir secara besar besran sebagai doktrin, tetapi bermakna kesatuan dalam arti sesuai penafsirannya.
     Kata kata 'demi stabilitas nasional' dimaknai tida boleh mengkritik apalagi berbeda haluan. Demokrasi Pancasila, dimaknai sebatas 'bersih lingkungan' (artinya tidak boleh tersangkut peristiwa 30 September l965). Kata kata 'demi kepentingan umum' dimaknai demi kepentingan konglomerat.
     Inilah yang disebut manipulasi nilai. Jika di dalam partai, nilai nilai hanya dimaknai secara subyektif seperti itu, maka sebagus apapun rumusannya tak bakalan memiliki daya dobrak yang efektif. 
Bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar