Rabu, 18 Mei 2011

Mengenal Jalan Sufi 2

      Kalo kemudian ada yang beranggapan bahwa para sufi adalah orang-orang  yang anti sosial, acuh terhadap dinamika kehidupan ini, narsis (terlalu asyik "bercinta" dengan Tuhan hingga lupa diri sampai tidak bekerja mencari nafkah) n berharap belas kasih dari orang lain dengan menjual syair-syair pujian terhadap Allah n Rasulullah adalah anggapan yang kurang tepat. Sebab para sufi, menurut Hujjatul Islam Al-Ghazali, tidak pernah menolak nikmatnya dunia dan mereka juga tidak berusaha n mengajak orang lain untuk mematikan nafsu-nafsu insani. Mereka hanya ingin mendisplinkan keinginan-keinginannya yang tidak selaras dengan nilai agama, akal dan nafiri batin. Mereka juga tidak mencampakan kecendrungan-kecendrungan duniawi tapi mereka tidak juga mengikutinya dengan membabi buta. Lebih dari itu, mereka tahu nilai-nilai yang benar dan fungsi-fungsi segala sesuatu yang ada di atas bumi. Mereka hanya menyimpan sebanyak apa yang menjadi kebutuhan mereka saat itu, untuk nanti dan esok mereka abaikan, dan mereka makan hanya sebanyak yang mereka butuhkan agar tetap sehat dan bisa dipakai untuk berjalan menuju Kekasih-nya, karena DIA lah yang menjadi titik fokus seluruh kehidupannya.
       Mereka para sufi tidak akan dan tidak pernah akan menjadi seorang pecundang yang lari dari dunia meninggalkan tanggung jawabnya, sebagaimana Abu Said katakan,  apa pun yang ada di pikiranmu --lupakanlah; apa pun yang ada di tanganmu--berikanlah; dan apa pun yang menjadi nasibmu--hadapilah! Karena itu kehadiran sufi di dunia profan ini, menurut Hujwiri, secara totaliti, sebab sufi adalah mereka yang pikirannya melangkah bersama kakinya. Mereka tidak hanya tinggal di mihrab-mihrab masjid dan musholla belaka, tapi, tambah Hujwiri,  seluruh jiwa dan badanya hadir, karena jiwanya adalah tempat di mana pun badannya berada. dan badannya adalah tempat di manapun  jiwanya berada, dan jiwanya adalah tempat di mana kakinya berada, dan kakinya adalah tempat di mana jiwanya berada. Jiwa, badan n kaki para sufi selalu membumi.
       Tanpa bumi kita tidak akan bisa menjadi spiritual (mistikus) sejati, karena bumi adalah tangga menuju akhirat n Tuhan. Simaklah kata Abu Yazid al-Bistami ini, "Engkau tidak akan menjadi mistikus sejati hingga engkau menyerupai bumi--baik jejak-jejak kebaikan maupun doa berada di atasnya--dan hingga engkau menyerupai awan yang  melindungi segala sesuatu di bawahnya--dan hingga engkau menyerupai hujan yang membasahi dan mengairi segala sesuatu, terlepas apakah ia menyintai segala sesuatu itu atau tidak.
       Untuk itu, msitikus yang sempurna, tambah Abu Said, bukanlah hamba yang ekstasik yang hilang dalam merenungkan 'kesatuan wujud' , tidak juga pertapa suci yang menghindari semua urusan dengan umat manusia, tapi mereka tidur dan makan bersama manusia, membeli dan menjual di pasar, menikah dan mengambil bagian dalam interaksi sosial, dan juga mereka tak pernah melupakan Tuhan meski hanya sesaat. Karena 'Aku' dan 'Kau' , kata Syabistari, tak lain adalah kisi-kisi pada ceruk sebuah lampu, di mana satu cahaya bersinar. 'Aku' dan 'Kau' adalah tabir antara langit dan bumi. Angkatlah tabir ini dan engkau akan melihat. Tak ada lagi tali ikatan antara sekte dan seperangkat keyakinan. Wallahu a'lam. bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar