Jumat, 20 Mei 2011

"Politik itu seperti Raden Gatotkaca"

     Politik itu seperti Raden Gatokaca, yang dalam dunia pewayangan bersisilah putra Bimasena dari istri Dewi Arimbi. Meskipun fisiknya masih ada genetik raksasa, tetapi berkat kecanggihan teknologi kedokteran dan metarulgi ala wayang, wajahnya dapat ditutup dengan topeng dari baja, sehingga kelihatan ganteng dan berwibawa. Dalam dunia wayang itu, Gatotkoco dielu-elukan sebagai pahlawan oleh para Pandawa karena meskipun masih muda belia, rela berkorban maju ke medan perang membela kebenaran dan keadilan.
     Namun di mata musuh musuhnya, Gatotkaca dianggap sebagai anak kemarin sore yang sombong dan tak tahu diri, termasuk oleh Pakdenya sendiri Adipati Karno dari Awangga. Karno-lah yang kemudian melepaskan panah senjata Kunto yang membuat Gatotkaca ambruk ke bumi untuk selamanya.
     Begitulah politik selalu berwajah dua atau kerapkali berwajah abstrak. Makna yang muncul, nilai yang tersembul, dan konotasi yang terbentuk, bisa berbeda beda tergantung dari mana orang memandangnya atau dengan kacamata apa orang mengindrainya. Kata lain yang agak keren, politik itu adalah sesuatu yang PARADOKS, dua sisi yang menyatu tak terpisahkan tetapi karakteristiknya bertolak belakang.
     Politik itu seperti Sri Krisna, yang di satu sisi memposisikan diri sebagai mediator bagi terciptanya perdamaian di Astina Raya tetapi dalam batinnya memihak salah satu kubu saja, yakni kubunya para Pandawa. Meskipun dalam mitologi Jawa, Krisna itu diidentikkan dengan titisan dewa wisnu--yang bertugas memelihara alam semesta, tetapi bila harga dirinya terusik bisa TIWIKRAMA--berubah wujud menjadi raksasa.
     Bila sudah berubah wujud menjadi besar menyamai gunung anakan, maka perangainya pun sangat kontroversial, merusak, menghancurkan, membinasakan, dan memporak porandakan!
     Politik itu seperti Arjuna, Kesatria penengah Pandawa yang terkenal sakti karena suka bertapa (hermenetiknya, bisa berarti suka merenung, menghindari hiruk pikuk keduniaan dan relegius), tetapi sekaligus menjadi kontroversi ketika Arjuna yang digambarkan sebagai 'lelananging jagad'--yaitu lelaki yang punya istri dimana mana, terkesan jadi tokoh hidung belang yang Thoklengku, bathok meleng meleng diaku.
     Politik itu seperti Yudistira, sulungnya Pandawa yang digambarkan darahnya putih karena tiada dosa, tetapi sekali tempo juga bisa berbohong akibat rayuan Sri Krisna, meskipun kebohongannya dengan suara lirih mengatakan bahwa putra begawan Durna yang bernama Aswatama telah tewas di padang Kurusetra, tetap saja berbohong. Sebab berbohong  itu tidak mengenal kategori bohong dengan suara keras ataupun bohong dengan berbisik bisik.
     Politik itu seperti kisah keluarga Pandawa dan Kurawa, dua keluarga yang sesungguhnya masih terikat tali keturunan yang sama. Destarata yang buta adalah kakak Pandu Dewanata. Destarata menurunkan Duryudana dan seratus adikna yang lain, sedangkan Pandu menurunkan Yudhistira dan keempat adiknya yang lain. Keluarga Duryudana selanjutnya disebut wangsa Kurawa sedangkan keluarga Pandu selanjutnya disebut wangsa Pandawa. Dua keluarga inilah yang kemudian menggelar perang besar yang disebut Baratayudha Jayabinangun.
     Itulah paradoks. Sebuah keluarga yang semestinya hidup rukun, adem ayem toto tentrem, kerto raharjo,  ternyata mampu saling menghancurkan. Meskipun ada banyak tafsir dihadirkan pada kisah tersebut, antara lain sebagai seleksi atas simbol kebenaran melawan keangkaramurkaan, toh tetap saja tak mampu menyembunyikan paradoksnya. Perang itu sumbernya adalah berebut kekuasaan, berebut tahta atau singgasana. Paradoks yang lain, meskipun Pandawa selalu disimbolkan sebagai suri tauladan kebenaran toh tetap ironis. Kenapa?
     Sebab Pandawa selalu mempersoalkan kerajaan Astina yang dipimpin Duryudana, padahal memang Duryudana-lah sesungguhnya pewaris sah negeri itu, sebab Duryudana adalah putra Distarata. Distarata adalah kakak Pandu. Dalam hirarki kekuasaan, putra tertua  adalah lebih berhak atas waris kekuasaan. Jadi, bagaimana mungkin bisa disebut benar bila berjuang merebut hak milik orang lai? Tetapi itulah pelajaran dari paradoks (politik), yang banyak menyisakan pertanyaan di seputar hakekat kebenaran.
     Politik itu seperti Bung Karno. Sekali tempo ketika karirnya menapaki zaman keemasan. ia dielu-elukan sebagai "Ratu Adil" yang diyakini akan membebaskan bangsa ini dari kemiskinan, kesengsasaraan, dan penindasan, sehingga ia pun sempat dinobatkan sebagai Presiden Seumur Hidup. Biyu...biyuh... tetapi pada saat yang lain, ia pun dituduh bersekongkol dengan Partai Komunias Indonesia (PKI) dalam tragedi berdarah akhir September 1965. Nyaris saja, proklamator kita itu menukik tajam ke dalam stegmatisasi politik yang sangat kejam, untungnya Pak Harto masih mau "mikul duwur mendem jero", sehingga Bung Karno tidak pernah jadi dipermalukan sampai ke pengadilan.
     Itupun terjadi pada Pak Harto sendiri. Ketika jaya dielu elukan bagai pahlawan, sampai diberi gelar "Bapak Pembangunan", setelah lengser masih juga dihujat dan dituntut untuk diadaili. Bahkan sampai jatuh sakit, hingga daya pikirnya tak berjalan normal pun, orang orang masih mencercanya juga. Tapi seiring berjalannya waktu, kelak orang akan merindukan kehdirannya lagi. seperti juga banyak orang yang rindu akan kehadiran Bung Karno, juga kehadiran Gus Dur yang fenomenal itu.
     Itulah politik yang penuh paradoks. Baik atau buruk batasannya begitu tipis, disanjung dan dimaki silih berganti, dotolak dan dirindu hanya soal waktu. Inilah inti pemikiran saya tentang dunia politik. Mungkin juga banyak salahnya, tetapi saya yakin ada juga betulnya. Kalau ada yang punya pendapat lain, monggo kita saling sharing pemikiran untuk saling asah asih n asuh.
     S u w u n.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar