Rabu, 25 Mei 2011

'Mengenal Ilmu Filasafat Ilmu'

1. Penegrtian Filsafat Ilmu.

     Filsafat Ilmu, tulis Beerling dkk, adalah penyelidikan tentang ciri ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karena, lanjut Beerling dkk,  apabalia para penyelenggara perbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang bejenis khusus dari masing-masing ilmu iltu sendiri, maka orang pun dapat melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut.
     Dalam suatu segi, filsafat ilmu adalah sebuah tijauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan dengan pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suati cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya ( Robert Ackermann, dalam The Liang Gie, 2000)
     Sementara itu, The Liang Gie, menyatakan bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
     Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari Ilmu Filsat. Kalu ilmu filsafat didefinisikan sebagai kegiatan berefleksi secara mendasar dan integral, maka filsafat ilmu, menurut Koento Wibisono Siswomiharjo, adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
     Filsafat ilmu (Philosophy of Science, Wissenschaftlehre, Wetenschapsleer), lanjut Siswomiharjo, merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan, sebab pengetahuan ilmiah tidak lain adalah 'a higher level' dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagimana kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

11. Obyek Filsafat Ilmu.

     1. Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir

          Obyek Filsafat Ilmu menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir adalah:

           a. Kenyataan atau fakta.
                Kanyataan atau fakta adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Obyek ini
                didukung sepenuhnya oleh aliran Positivisme ( A. Comte, l798-l857), karena
                memang positivsme hanya mengakui penghayatan yang empirik sensual.
                Sesuatu sebagai nyata bagi positivisme bila ada korespondensi antara yang
                sesual satu dengan yang sensual lainya. Data sensual tersebu harus obyektif,
                tidak boleh masuk sobyektivitas peneliti. Aliran positivisme ini kemudian
                dikembangkan oleh aliran Phenomenologik ( Husserl, l859-l939) dngan dua
                pendekatan, pertama, menjurus ke koherensi rasional obyektif, kedua,
                menjurus ke koherensi moral. Phenomene atau gejala bukan sekedar data
                empirik sesnsual, melainkan data yang sudah dimaknai atau diinterpretasi.
                Ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektivitas penelit bukan dalam makna
                sesuai selera peneliti, melainkan dalam makna pengakuan terhadap sikap
                selektif sejak pengumpulan data, analisis, sampa kesimpulannya.
                Dasar selektivitasnya  mungkin idee, mungkin moral, atau lainnya

           b. Kebenaran

                Bagi para positivist, benar substantive menjadi identik dengan benar
                faktual sesuatu deng empiri sensual. Sedang bagi para realist, benar
                substantif identik dengan benar riil obyektif, benar sesuai dengan konstruk
                 skema rasional tertentu. Sedang benar epistemologik berbeda,
                 terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam mencari
                 kebenaran.Kebenaran positivistik berlandaskan pada diketemukannya
                frekwensi tinggi atau variansi besar, sedangkan pada phenomenologik
                 kebenaran dibuktikan berdasar diketemukannya yang esensial, pilah dari
                 yang non esensial atau eksemplar, dan sesuai dengan skema moral tertentu.
                  Secara tradisional dikenal dua teori kebenaran, yaitu teori kebenaran
                  korespondensi dan teori kebenaran koherensi. Yang pertama tokohnya
                  mulai Plato, Aistoteles, Moore,
                  Reussel, Ramsay dan Tarski. Yang kedua adalah para rasionalis seperti
                  Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley.
           c. Konfirmasi
               Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan
               datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat
               ditampilkan sebagai konfirmas absolut atau probalistik. Menampilkan
               konfirmasi absolut biasanya menggunakan landasan asumsi, postulat,
               atau aksioma yang sudah dipastikan bnar. Tetapi tidak salah bila tidak
               mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan membuat penjelasan,
               prediksi, ataupun pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik
               dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif. Dalam ontologi,
               dikenal pula pembuktian a priori dan a posteriori.
                Tidak tepat bila mengidentikkan yang induktif dengan yang a posteriori.

            d. Logika Infrensi

                 Silogisme formil dari Aristoteles menggunakan korespondensi dalam jenis.
                 Dikatakan silogisme formil karena kebenaran dijamin oleh kebenaran bentuk
                 formal proposisinya. Dikatakan silogisme kategorik, karena sesuatu
                 proposisi minor disimpulkan benar atau
                 salah atas posisinya yang berada di dalam jenis atau di luarnya.
                 Phenomenologi antropologik menampilkan kebenaran koherensi spesifik.
                 Phenomenologi Russel menampilkan kebenaran korespondensi yang berbeda,
                 korespondensi antara yang dipercayainya (belief) dengan fakta. Belief pada
                 Russel memang momot moral, tetapi masih bersifat spesifik., bukan general;
                 sehingga belum ada skema moralnya. Konsekwensinya, kesimpula penelitian
                 phenomenologik menjadi kesimpulan kasus atau menjadi kesimpulan ideographik.
                 Phenomenologi Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran fakta dengan
                 skema moral. Model tersebut digunakan oleh phenomenologi antropologik.
                Adapun phenomenologi lainnya menampilkan
                kebenaran koherensi rasional, koheren antara fakta dengan rasio.

     2. Menurut Prof. Dr. Koento Wibisono Siswomihardjo.

         Obyek Filsafat Ilmu berhimpitan  dengan obyek Ilmu Filsafat, namun berbeda
         dalam aspek dan motif pembahasannya, yaitu;

         a. O n t o l o g i

              Ontologi sebagai salah satu cabang filsafat membahas apa hakekat
              (being quo being) itu,
              dalam istilah Noeng Muhadjir adalah FAKTA.. Hakekat/fakta itu adalah:
              1. Menurut aliran Idealisme (serba roh, serba cita2) ; bahwa hakekat dari
                  kenyataan yang beraneka warna ini berasal dari roh (sukma) atau
                  yang sejenis dengan itu, yaitu sesuatu
                  yang tidak berbentuk dan tidak membutuhkan ruang; tokoh2nya seperti;
                   Plato,idealisme realistik. Kant, idealisme Romantik.
                   Fichte, idealisme identitas monisme.
                   Schelling, idealisme obyektif. Hegel, idealisme mutlak.
               2. Menurut Materialisme menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi,
                   bahwa jiwa atau roh itu tidaklah suatu kenyataan yang berdiri sendiri,
                   tetapi merupakan akibat  dari proses gerakan kebendaan dengan
                   salah satu cara tertentu.Senada dengan materialisme
                   adalah faham naturalisme yang menyatakan bahwa hanya ALAM
                   yang ada, di luar alam tidak ada ( jin, setan, malaikat, dan  Tuhan juga
                   tidak ada, na'udzu billah, pen).
                   Tokoh2nya seperti Lamettrie (l709-l75l), juga Vogt, Buchner, Molenschott.
                   Feuerbach (l804-l872), Hegel (      ), Karl marx (l8l8-l883), Engels (l820-l885)
                3. Menurut aliran Dualisme, alam maujud ini terdiri dari dua macam hakekat
                    sebagai asal sumbernya yaitu hakekat materi dan hakekat rohani.
                    Kedua macam hakekat ini bebas n berdiri sendiri sendiri, sama sama azali
                    dan abadi. Pertautan antara keduanya itulah yang
                    menciptakan  kehidupan dan alam ini. Tokoh2nya sepert
                    Aristoteles (382-322 s.M.) n Descartes (l596-l650)
                    Masing2 aliran ini mempunyai keyakinannya sendiri-sendiri mengenai apa
                    'hakekat ada' itu. Konsekwensinya akan sampai pada perbedaan
                    pandangan tentang apa yang disebut kebenaran atau kenyataan (fakta),
                    yang pada  gilirannya juga akan sampai pula pada perbedaan dalam
                    menggunakan sarana dalam mencapai kebenaran atau kenyataan/fakta tadi.
                    Filsafat Hegel adalah merupakan gambaran yang sangat relevan untuk
                    ditunjukka sebagai 'contoh soal' dalam masalah ontologi ini.
         b.  E p i s t e m o l o g i.
               Sebagai cabang Filsafat, epistemologi membahas apa sarana dan
                bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan, dan bagaimana
                ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu.
                Rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme, dan
               fenomenologi merupakan paham-paham dalam epistemologi.
               Lalu filsafat bahsa,logika, matematika, metodologi merupakan
                unsur-unsur yang merupakan bagian dari epistemologi.
               - Rasionalisme menyatakan, bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat
                 mengetahui dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dalam alam. , atau terhadap
                 sesuatu kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi tidak
                 bersifat analaitik. Tokohnya (Descartes, Spinoza n Leibniz )
               - Empirisme menyatakan, bahwa pengetahuan didapat hanya dari pengalaman hidup,
                 atau karena adanya sentuhan indrawi (sense). Tokohnya (Bacon, Hobbes,
                 Locke, n Hume)
               - Kritisisme adalah paham pemikiran yang kritis dan mendalam, menggabungkan konsep
                 rasionalisme Descartes dan empirisme Bacon. Tokohnya Kant (l724-l804)
               - Positivisme....
          c.  A k s i o l o g i.
               Sebagai salah satu cabang filsafat, aksiologi membahas nilai (value) sebagai
               emperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praksis.
               Ilmu pengetahuan sebagai satau kesatuan menampakkan diri secara dimensional,
               yaitu ilmu sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk.
               Ilmu sebagai masyarakat menunjukkan adanya seklompok elit yang dalam
               kehidupannya sangat  mendambakan imperatives, yang oleh R. Merton disebut
               universalisme, komunalisme, desinter-estedness dan skepsisme yang teratur.
               Ilmu sebgai proses menggambarkan aktivitas masyarakat ilmiah yang dengan
               aktivitasnya seperti ekspedisi, penelitian, seminar, eksperimentasi, dan lain
               sebagainya sebagai aplikasi dalam mencari dan menemukan sesuatu hasil yang
               secara pragmatis hendak dicapai.
              Sedangkan sebagai produk, menunjukkan hasil hasil yang berupa karya karya ilmiah,
              teori-teori,  paradigma-paradigma, beserta hasil terapannya yang berupa teknologi.

111. Strategi Pengembangan Ilmu

         Ada tiga strategi pengembangan ilmu;
         1. Ilmu berkembang dalam otonomi tertutup, dimana pengaruh konteks dibatasi, bahkan
              disingkirkan.
          2. Ilmu harus lebur dalam konteksnya, tidak hanya merupakan refleksi, melainkan juga
              memberikan alasan pembenaran bagi konteksnya.
          3. Ilmu dan konteksnya saling meresapi dan saling mempengaruhi untuk memberi kemungkinan
              bagi timnulnya gagasan gagasan baru yang aktual dan relevan bagi pemenuhan kebutuhan
              sesuai dengan waktu dan keadaan.

1. Penegrtian Filsafat Ilmu.

     Filsafat Ilmu, tulis Beerling dkk, adalah penyelidikan tentang ciri ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karena, lanjut Beerling dkk,  apabalia para penyelenggara perbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang bejenis khusus dari masing-masing ilmu iltu sendiri, maka orang pun dapat melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut.
     Dalam suatu segi, filsafat ilmu adalah sebuah tijauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan dengan pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suati cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya ( Robert Ackermann, dalam The Liang Gie, 2000)
     Sementara itu, The Liang Gie, menyatakan bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
     Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari Ilmu Filsat. Kalu ilmu filsafat didefinisikan sebagai kegiatan berefleksi secara mendasar dan integral, maka filsafat ilmu, menurut Koento Wibisono Siswomiharjo, adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
     Filsafat ilmu (Philosophy of Science, Wissenschaftlehre, Wetenschapsleer), lanjut Siswomiharjo, merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan, sebab pengetahuan ilmiah tidak lain adalah 'a higher level' dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagimana kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

11. Obyek Filsafat Ilmu.

     1. Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir

          Obyek Filsafat Ilmu menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir adalah:

           a. Kenyataan atau fakta.
                Kanyataan atau fakta adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Obyek ini
                didukung sepenuhnya oleh aliran Positivisme ( A. Comte, l798-l857), karena
                memang positivsme hanya mengakui penghayatan yang empirik sensual.
                Sesuatu sebagai nyata bagi positivisme bila ada korespondensi antara yang
                sesual satu dengan yang sensual lainya. Data sensual tersebu harus obyektif,
                tidak boleh masuk sobyektivitas peneliti. Aliran positivisme ini kemudian
                dikembangkan oleh aliran Phenomenologik ( Husserl, l859-l939) dngan dua
                pendekatan, pertama, menjurus ke koherensi rasional obyektif, kedua,
                menjurus ke koherensi moral. Phenomene atau gejala bukan sekedar data
                empirik sesnsual, melainkan data yang sudah dimaknai atau diinterpretasi.
                Ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektivitas penelit bukan dalam makna
                sesuai selera peneliti, melainkan dalam makna pengakuan terhadap sikap
                selektif sejak pengumpulan data, analisis, sampa kesimpulannya.
                Dasar selektivitasnya  mungkin idee, mungkin moral, atau lainnya

           b. Kebenaran

                Bagi para positivist, benar substantive menjadi identik dengan benar
                faktual sesuatu deng empiri sensual. Sedang bagi para realist, benar
                substantif identik dengan benar riil obyektif, benar sesuai dengan konstruk
                 skema rasional tertentu. Sedang benar epistemologik berbeda,
                 terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam mencari
                 kebenaran.Kebenaran positivistik berlandaskan pada diketemukannya
                frekwensi tinggi atau variansi besar, sedangkan pada phenomenologik
                 kebenaran dibuktikan berdasar diketemukannya yang esensial, pilah dari
                 yang non esensial atau eksemplar, dan sesuai dengan skema moral tertentu.
                  Secara tradisional dikenal dua teori kebenaran, yaitu teori kebenaran
                  korespondensi dan teori kebenaran koherensi. Yang pertama tokohnya
                  mulai Plato, Aistoteles, Moore,
                  Reussel, Ramsay dan Tarski. Yang kedua adalah para rasionalis seperti
                  Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley.
           c. Konfirmasi
               Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan
               datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat
               ditampilkan sebagai konfirmas absolut atau probalistik. Menampilkan
               konfirmasi absolut biasanya menggunakan landasan asumsi, postulat,
               atau aksioma yang sudah dipastikan bnar. Tetapi tidak salah bila tidak
               mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan membuat penjelasan,
               prediksi, ataupun pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik
               dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif. Dalam ontologi,
               dikenal pula pembuktian a priori dan a posteriori.
                Tidak tepat bila mengidentikkan yang induktif dengan yang a posteriori.

            d. Logika Infrensi

                 Silogisme formil dari Aristoteles menggunakan korespondensi dalam jenis.
                 Dikatakan silogisme formil karena kebenaran dijamin oleh kebenaran bentuk
                 formal proposisinya. Dikatakan silogisme kategorik, karena sesuatu
                 proposisi minor disimpulkan benar atau
                 salah atas posisinya yang berada di dalam jenis atau di luarnya.
                 Phenomenologi antropologik menampilkan kebenaran koherensi spesifik.
                 Phenomenologi Russel menampilkan kebenaran korespondensi yang berbeda,
                 korespondensi antara yang dipercayainya (belief) dengan fakta. Belief pada
                 Russel memang momot moral, tetapi masih bersifat spesifik., bukan general;
                 sehingga belum ada skema moralnya. Konsekwensinya, kesimpula penelitian
                 phenomenologik menjadi kesimpulan kasus atau menjadi kesimpulan ideographik.
                 Phenomenologi Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran fakta dengan
                 skema moral. Model tersebut digunakan oleh phenomenologi antropologik.
                Adapun phenomenologi lainnya menampilkan
                kebenaran koherensi rasional, koheren antara fakta dengan rasio.

     2. Menurut Prof. Dr. Koento Wibisono Siswomihardjo.

         Obyek Filsafat Ilmu berhimpitan  dengan obyek Ilmu Filsafat, namun berbeda
         dalam aspek dan motif pembahasannya, yaitu;

         a. O n t o l o g i

              Ontologi sebagai salah satu cabang filsafat membahas apa hakekat
              (being quo being) itu,
              dalam istilah Noeng Muhadjir adalah FAKTA.. Hakekat/fakta itu adalah:
              1. Menurut aliran Idealisme (serba roh, serba cita2) ; bahwa hakekat dari
                  kenyataan yang beraneka warna ini berasal dari roh (sukma) atau
                  yang sejenis dengan itu, yaitu sesuatu
                  yang tidak berbentuk dan tidak membutuhkan ruang; tokoh2nya seperti;
                   Plato,idealisme realistik. Kant, idealisme Romantik.
                   Fichte, idealisme identitas monisme.
                   Schelling, idealisme obyektif. Hegel, idealisme mutlak.
               2. Menurut Materialisme menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi,
                   bahwa jiwa atau roh itu tidaklah suatu kenyataan yang berdiri sendiri,
                   tetapi merupakan akibat  dari proses gerakan kebendaan dengan
                   salah satu cara tertentu.Senada dengan materialisme
                   adalah faham naturalisme yang menyatakan bahwa hanya ALAM
                   yang ada, di luar alam tidak ada ( jin, setan, malaikat, dan  Tuhan juga
                   tidak ada, na'udzu billah, pen).
                   Tokoh2nya seperti Lamettrie (l709-l75l), juga Vogt, Buchner, Molenschott.
                   Feuerbach (l804-l872), Hegel (      ), Karl marx (l8l8-l883), Engels (l820-l885)
                3. Menurut aliran Dualisme, alam maujud ini terdiri dari dua macam hakekat
                    sebagai asal sumbernya yaitu hakekat materi dan hakekat rohani.
                    Kedua macam hakekat ini bebas n berdiri sendiri sendiri, sama sama azali
                    dan abadi. Pertautan antara keduanya itulah yang
                    menciptakan  kehidupan dan alam ini. Tokoh2nya sepert
                    Aristoteles (382-322 s.M.) n Descartes (l596-l650)
                    Masing2 aliran ini mempunyai keyakinannya sendiri-sendiri mengenai apa
                    'hakekat ada' itu. Konsekwensinya akan sampai pada perbedaan
                    pandangan tentang apa yang disebut kebenaran atau kenyataan (fakta),
                    yang pada  gilirannya juga akan sampai pula pada perbedaan dalam
                    menggunakan sarana dalam mencapai kebenaran atau kenyataan/fakta tadi.
                    Filsafat Hegel adalah merupakan gambaran yang sangat relevan untuk
                    ditunjukka sebagai 'contoh soal' dalam masalah ontologi ini.
         b.  E p i s t e m o l o g i.
               Sebagai cabang Filsafat, epistemologi membahas apa sarana dan
                bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan, dan bagaimana
                ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu.
                Rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme, dan
               fenomenologi merupakan paham-paham dalam epistemologi.
               Lalu filsafat bahsa,logika, matematika, metodologi merupakan
                unsur-unsur yang merupakan bagian dari epistemologi.
               - Rasionalisme menyatakan, bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat
                 mengetahui dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dalam alam. , atau terhadap
                 sesuatu kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi tidak
                 bersifat analaitik. Tokohnya (Descartes, Spinoza n Leibniz )
               - Empirisme menyatakan, bahwa pengetahuan didapat hanya dari pengalaman hidup,
                 atau karena adanya sentuhan indrawi (sense). Tokohnya (Bacon, Hobbes,
                 Locke, n Hume)
               - Kritisisme adalah paham pemikiran yang kritis dan mendalam, menggabungkan konsep
                 rasionalisme Descartes dan empirisme Bacon. Tokohnya Kant (l724-l804)
               - Positivisme....
          c.  A k s i o l o g i.
               Sebagai salah satu cabang filsafat, aksiologi membahas nilai (value) sebagai
               emperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praksis.
               Ilmu pengetahuan sebagai satau kesatuan menampakkan diri secara dimensional,
               yaitu ilmu sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk.
               Ilmu sebagai masyarakat menunjukkan adanya seklompok elit yang dalam
               kehidupannya sangat  mendambakan imperatives, yang oleh R. Merton disebut
               universalisme, komunalisme, desinter-estedness dan skepsisme yang teratur.
               Ilmu sebgai proses menggambarkan aktivitas masyarakat ilmiah yang dengan
               aktivitasnya seperti ekspedisi, penelitian, seminar, eksperimentasi, dan lain
               sebagainya sebagai aplikasi dalam mencari dan menemukan sesuatu hasil yang
               secara pragmatis hendak dicapai.
              Sedangkan sebagai produk, menunjukkan hasil hasil yang berupa karya karya ilmiah,
              teori-teori,  paradigma-paradigma, beserta hasil terapannya yang berupa teknologi.

111. Strategi Pengembangan Ilmu

         Ada tiga strategi pengembangan ilmu;
         1. Ilmu berkembang dalam otonomi tertutup, dimana pengaruh konteks dibatasi, bahkan
              disingkirkan.
          2. Ilmu harus lebur dalam konteksnya, tidak hanya merupakan refleksi, melainkan juga
              memberikan alasan pembenaran bagi konteksnya.
          3. Ilmu dan konteksnya saling meresapi dan saling mempengaruhi untuk memberi kemungkinan
              bagi timnulnya gagasan gagasan baru yang aktual dan relevan bagi pemenuhan kebutuhan
              sesuai dengan waktu dan keadaan.

1. Penegrtian Filsafat Ilmu.

     Filsafat Ilmu, tulis Beerling dkk, adalah penyelidikan tentang ciri ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karena, lanjut Beerling dkk,  apabalia para penyelenggara perbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang bejenis khusus dari masing-masing ilmu iltu sendiri, maka orang pun dapat melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut.
     Dalam suatu segi, filsafat ilmu adalah sebuah tijauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan dengan pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu demikian jelas bukan suati cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya ( Robert Ackermann, dalam The Liang Gie, 2000)
     Sementara itu, The Liang Gie, menyatakan bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
     Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari Ilmu Filsat. Kalu ilmu filsafat didefinisikan sebagai kegiatan berefleksi secara mendasar dan integral, maka filsafat ilmu, menurut Koento Wibisono Siswomiharjo, adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
     Filsafat ilmu (Philosophy of Science, Wissenschaftlehre, Wetenschapsleer), lanjut Siswomiharjo, merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan, sebab pengetahuan ilmiah tidak lain adalah 'a higher level' dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagimana kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

11. Obyek Filsafat Ilmu.

     1. Menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir

          Obyek Filsafat Ilmu menurut Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir adalah:

           a. Kenyataan atau fakta.
                Kanyataan atau fakta adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Obyek ini
                didukung sepenuhnya oleh aliran Positivisme ( A. Comte, l798-l857), karena
                memang positivsme hanya mengakui penghayatan yang empirik sensual.
                Sesuatu sebagai nyata bagi positivisme bila ada korespondensi antara yang
                sesual satu dengan yang sensual lainya. Data sensual tersebu harus obyektif,
                tidak boleh masuk sobyektivitas peneliti. Aliran positivisme ini kemudian
                dikembangkan oleh aliran Phenomenologik ( Husserl, l859-l939) dngan dua
                pendekatan, pertama, menjurus ke koherensi rasional obyektif, kedua,
                menjurus ke koherensi moral. Phenomene atau gejala bukan sekedar data
                empirik sesnsual, melainkan data yang sudah dimaknai atau diinterpretasi.
                Ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektivitas penelit bukan dalam makna
                sesuai selera peneliti, melainkan dalam makna pengakuan terhadap sikap
                selektif sejak pengumpulan data, analisis, sampa kesimpulannya.
                Dasar selektivitasnya  mungkin idee, mungkin moral, atau lainnya

           b. Kebenaran

                Bagi para positivist, benar substantive menjadi identik dengan benar
                faktual sesuatu deng empiri sensual. Sedang bagi para realist, benar
                substantif identik dengan benar riil obyektif, benar sesuai dengan konstruk
                 skema rasional tertentu. Sedang benar epistemologik berbeda,
                 terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam mencari
                 kebenaran.Kebenaran positivistik berlandaskan pada diketemukannya
                frekwensi tinggi atau variansi besar, sedangkan pada phenomenologik
                 kebenaran dibuktikan berdasar diketemukannya yang esensial, pilah dari
                 yang non esensial atau eksemplar, dan sesuai dengan skema moral tertentu.
                  Secara tradisional dikenal dua teori kebenaran, yaitu teori kebenaran
                  korespondensi dan teori kebenaran koherensi. Yang pertama tokohnya
                  mulai Plato, Aistoteles, Moore,
                  Reussel, Ramsay dan Tarski. Yang kedua adalah para rasionalis seperti
                  Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley.
           c. Konfirmasi
               Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan
               datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat
               ditampilkan sebagai konfirmas absolut atau probalistik. Menampilkan
               konfirmasi absolut biasanya menggunakan landasan asumsi, postulat,
               atau aksioma yang sudah dipastikan bnar. Tetapi tidak salah bila tidak
               mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan membuat penjelasan,
               prediksi, ataupun pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik
               dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif. Dalam ontologi,
               dikenal pula pembuktian a priori dan a posteriori.
                Tidak tepat bila mengidentikkan yang induktif dengan yang a posteriori.

            d. Logika Infrensi

                 Silogisme formil dari Aristoteles menggunakan korespondensi dalam jenis.
                 Dikatakan silogisme formil karena kebenaran dijamin oleh kebenaran bentuk
                 formal proposisinya. Dikatakan silogisme kategorik, karena sesuatu
                 proposisi minor disimpulkan benar atau
                 salah atas posisinya yang berada di dalam jenis atau di luarnya.
                 Phenomenologi antropologik menampilkan kebenaran koherensi spesifik.
                 Phenomenologi Russel menampilkan kebenaran korespondensi yang berbeda,
                 korespondensi antara yang dipercayainya (belief) dengan fakta. Belief pada
                 Russel memang momot moral, tetapi masih bersifat spesifik., bukan general;
                 sehingga belum ada skema moralnya. Konsekwensinya, kesimpula penelitian
                 phenomenologik menjadi kesimpulan kasus atau menjadi kesimpulan ideographik.
                 Phenomenologi Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran fakta dengan
                 skema moral. Model tersebut digunakan oleh phenomenologi antropologik.
                Adapun phenomenologi lainnya menampilkan
                kebenaran koherensi rasional, koheren antara fakta dengan rasio.

     2. Menurut Prof. Dr. Koento Wibisono Siswomihardjo.

         Obyek Filsafat Ilmu berhimpitan  dengan obyek Ilmu Filsafat, namun berbeda
         dalam aspek dan motif pembahasannya, yaitu;

         a. O n t o l o g i

              Ontologi sebagai salah satu cabang filsafat membahas apa hakekat
              (being quo being) itu,
              dalam istilah Noeng Muhadjir adalah FAKTA.. Hakekat/fakta itu adalah:
              1. Menurut aliran Idealisme (serba roh, serba cita2) ; bahwa hakekat dari
                  kenyataan yang beraneka warna ini berasal dari roh (sukma) atau
                  yang sejenis dengan itu, yaitu sesuatu
                  yang tidak berbentuk dan tidak membutuhkan ruang; tokoh2nya seperti;
                   Plato,idealisme realistik. Kant, idealisme Romantik.
                   Fichte, idealisme identitas monisme.
                   Schelling, idealisme obyektif. Hegel, idealisme mutlak.
               2. Menurut Materialisme menyatakan bahwa yang ada hanyalah materi,
                   bahwa jiwa atau roh itu tidaklah suatu kenyataan yang berdiri sendiri,
                   tetapi merupakan akibat  dari proses gerakan kebendaan dengan
                   salah satu cara tertentu.Senada dengan materialisme
                   adalah faham naturalisme yang menyatakan bahwa hanya ALAM
                   yang ada, di luar alam tidak ada ( jin, setan, malaikat, dan  Tuhan juga
                   tidak ada, na'udzu billah, pen).
                   Tokoh2nya seperti Lamettrie (l709-l75l), juga Vogt, Buchner, Molenschott.
                   Feuerbach (l804-l872), Hegel (      ), Karl marx (l8l8-l883), Engels (l820-l885)
                3. Menurut aliran Dualisme, alam maujud ini terdiri dari dua macam hakekat
                    sebagai asal sumbernya yaitu hakekat materi dan hakekat rohani.
                    Kedua macam hakekat ini bebas n berdiri sendiri sendiri, sama sama azali
                    dan abadi. Pertautan antara keduanya itulah yang
                    menciptakan  kehidupan dan alam ini. Tokoh2nya sepert
                    Aristoteles (382-322 s.M.) n Descartes (l596-l650)
                    Masing2 aliran ini mempunyai keyakinannya sendiri-sendiri mengenai apa
                    'hakekat ada' itu. Konsekwensinya akan sampai pada perbedaan
                    pandangan tentang apa yang disebut kebenaran atau kenyataan (fakta),
                    yang pada  gilirannya juga akan sampai pula pada perbedaan dalam
                    menggunakan sarana dalam mencapai kebenaran atau kenyataan/fakta tadi.
                    Filsafat Hegel adalah merupakan gambaran yang sangat relevan untuk
                    ditunjukka sebagai 'contoh soal' dalam masalah ontologi ini.
         b.  E p i s t e m o l o g i.
               Sebagai cabang Filsafat, epistemologi membahas apa sarana dan
                bagaimana tata cara untuk mencapai pengetahuan, dan bagaimana
                ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah itu.
                Rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivisme, dan
               fenomenologi merupakan paham-paham dalam epistemologi.
               Lalu filsafat bahsa,logika, matematika, metodologi merupakan
                unsur-unsur yang merupakan bagian dari epistemologi.
               - Rasionalisme menyatakan, bahwa akal memiliki kekuatan independen untuk dapat
                 mengetahui dan mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dalam alam. , atau terhadap
                 sesuatu kebenaran yang menurut logika, berada sebelum pengalaman, tetapi tidak
                 bersifat analaitik. Tokohnya (Descartes, Spinoza n Leibniz )
               - Empirisme menyatakan, bahwa pengetahuan didapat hanya dari pengalaman hidup,
                 atau karena adanya sentuhan indrawi (sense). Tokohnya (Bacon, Hobbes,
                 Locke, n Hume)
               - Kritisisme adalah paham pemikiran yang kritis dan mendalam, menggabungkan konsep
                 rasionalisme Descartes dan empirisme Bacon. Tokohnya Kant (l724-l804)
               - Positivisme....
          c.  A k s i o l o g i.
               Sebagai salah satu cabang filsafat, aksiologi membahas nilai (value) sebagai
               emperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praksis.
               Ilmu pengetahuan sebagai satau kesatuan menampakkan diri secara dimensional,
               yaitu ilmu sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk.
               Ilmu sebagai masyarakat menunjukkan adanya seklompok elit yang dalam
               kehidupannya sangat  mendambakan imperatives, yang oleh R. Merton disebut
               universalisme, komunalisme, desinter-estedness dan skepsisme yang teratur.
               Ilmu sebgai proses menggambarkan aktivitas masyarakat ilmiah yang dengan
               aktivitasnya seperti ekspedisi, penelitian, seminar, eksperimentasi, dan lain
               sebagainya sebagai aplikasi dalam mencari dan menemukan sesuatu hasil yang
               secara pragmatis hendak dicapai.
              Sedangkan sebagai produk, menunjukkan hasil hasil yang berupa karya karya ilmiah,
              teori-teori,  paradigma-paradigma, beserta hasil terapannya yang berupa teknologi.

111. Strategi Pengembangan Ilmu

         Ada tiga strategi pengembangan ilmu;
         1. Ilmu berkembang dalam otonomi tertutup, dimana pengaruh konteks dibatasi, bahkan
              disingkirkan.
          2. Ilmu harus lebur dalam konteksnya, tidak hanya merupakan refleksi, melainkan juga
              memberikan alasan pembenaran bagi konteksnya.
          3. Ilmu dan konteksnya saling meresapi dan saling mempengaruhi untuk memberi kemungkinan
              bagi timnulnya gagasan gagasan baru yang aktual dan relevan bagi pemenuhan kebutuhan
              sesuai dengan waktu dan keadaan.

Senin, 23 Mei 2011

'Pragmatisme Sebagai Aliran Filsafat'

Selama ini, kalau ada orang atau tokoh mau mengerjakan sesuatu jika mendapatkan imbalan/hasil berupa materi (uang), maka orang tersebut disebut pragmatis. Dalam ranah politik, kalau ada politisi yang orentasisnya hanya materi juga disebut prgmatis. Maka istilah prakmatis, selama ini yang dipahami oleh masyarakat umum (common sense), hampir sama dengan materialis, yaitu segala sesuatu diukur dengan materi.
     Padahal makna sesungguhnya dari pragmatis itu tidak seperti apa yang selama ini dipahami secara common sense seperti yang saya sebut di atas. Pragmatis, menurut kamus, adalah memandang segala sesuatu menurut kegunaannya baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Ada juga yang mengartikan pragmatis adalah, berpegang teguh pada kenyataan yang ada (realitas) dan berfaedah untuk umum. Orang orang yang memaknai pragmatis seprti ini disebut Pragmatisme.
     Sementara itu, dalam filsafat ada aliran yang disebut Filsafat Pragmatisme atau Eksperimentalisme. Demikian juga dalam teori kebenaran, ada aliran kebenaran yang disebut dengan Teori Pragmatisme.
     Filsafat pragmatisme atau eksperimentalisme ini, menurut Charles M. Stanson, dalam M. Thoyyibi l994, muncul pada akhir abad l9 dan awal abad 20 yang kemudian melahirkan pandangan populis di kalangan pemimpin Amerika.
     Secara intlektual, filsafat ini berakar pada pandangan dan tulisan seorang pemikir rasionalis dari Skotlandia, William James, dan filsuf John Dewey.
     Masyarakat Amerika secara historis, lanjut Stanson,  adalah imigran dari Eropa yang datang ke benua Amerika untuk mencari kebebasan, karena ingin terlepas dari ikatan ikatan keluarga, masyarakat, dan juga negara. Rata rata pendidikan mereka rendah dan kurang memadahi. Karena itu, mereka mulai membangun komunitas dengan tradisi, peradaban dan cara berfikir yang bersifat populis, yaitu suatu cara berfikir yang sederhana yang bisa dipakai untuk menyelesaikan kebutuhan hidup sehari hari secara praktis.
     Karena itu, aliran filsafat prgamatisme ini tidak memiliki kerangka pemikiran yang komprehensif. William James dan John dewey, sebagai peletak dasar aliran ini, hanya mengabsraksikan realitas yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat Amerika itu sendiri, yaitu sebuah masyarakat yang sederhana yang tidak terlalu berorentasi pada masalah2 filosofis seperti halnya masyarakat Yunani.
     Aliran Pragmatis ini  tidak banyak tertarik pada konsep pemikiran (mind). Aliran ini berpendapat bahwa cukuplah bagi mereka untuk mengetahui bahwa otak itu bekerja, tetapi mereka tidak perlu mengetahui bagaimana otak itu bekerja, karena yang tahu bagaimana otak bekerja itu urusan dan tantangannya para ilmuwan. Pikiran, menurut Pragmatisme, tidak memiliki kualitas kulaitas msitik atau spiritual dan tidak ada kekuatan super natural yang mempengaruhinya. Mind itu merupakan kata kerja dan bukan kata benda, sebagaimana ungkapan ngkapan ini, 'Mind your manners' atau 'Mind the store'. Manusia mengetahui keberadaan mind melalui pengamatan terhadap aktivitas manusia, karena mind bukan merupakan prilaku acak sebagaimana yang terdapat pada jenis jenis binatang yang lebih rendah, melainkan merupakan prilaku manusia yang bersifat purposif.
     Gagasan (ideas), menurut Prgmatisme, yang merupakan paramount di dalam filsafat filsafat tradisional, dianggap tidak lebih dari sekedar pengertian, pemikiran, atau citra yang disadari. gagasan tersebut memiliki bentuknya di dalam pemikiran manusia dan manusia menjadi sadar akan keberadaan gagasan tersebut. gagasan tidak berada di tempat lain di luar manusia, semacam cosmic mind ( pikiran kosmik ) atau natural order of the universe ( tatanan realitas alam semesta) kecuali di dalam pikiran manusia.
     Konsep inti dari Pragmatisme, simpul Stanson,  adalah Pengalaman manusia. Melalui pengalaman, manusia mengembangkan realitas yang melingkupinya. Dalam bentuknya yang mendasar, pengalaman dengan suatu transaksi antara diri manusia dengan sesuatu di sekitar lingkungannya yang kemudian masing masing mengalami perubahan.
     Transaksi menggerakkan impuls untuk memahami situasi, dia memulai suatu proses pemecahan masalah. Dia memulai serangkaian aksi untuk menemukan apa yang sedang terjadi dan bagaimana memanfaatkannya. Menurut Pragmatisme, manusia terlahir sebagai pemecah masalah (problem solver), mereka suka menggambarkan segala sesuatu. Manusia memperoleh kepuasan besar dari proses pemecahan masalah ini. Dalam bentuknya yg lbh pasti, pemecahan masalah disebut metode ilmiah, tetapi untuk peristiwa peristiwa biasa, manusia menggunakan metode mereka sendiri untuk memecahkan masalah masalah yang timbul.
     Semua manusia pada hakekatnya adalah peneliti dalam aktivitas hidup sehari hari dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi. John Dewey memberikan suatu gambara bagaimana proses seseorang memecahkan persoalan. Mula mula dia menghadapi persoalan, lalu dia mempunyai hipotesis, setelah itu dia menguji gagasan sesuai dengan hipotesis yang dimilikinya, dan akhirnya dia sampai pada solusi. Yang jadi persoalan adalah bahwa setiap orang akan mendapatkan solusi atau kesimpulan masing masing yang berbeda, meskipun metode yang digunakan sebenarnya sama.Selama ini, kalau ada orang atau tokoh mau mengerjakan sesuatu jika mendapatkan imbalan/hasil berupa materi (uang), maka orang tersebut disebut pragmatis. Dalam ranah politik, kalau ada politisi yang orentasisnya hanya materi juga disebut prgmatis. Maka istilah prakmatis, selama ini yang dipahami oleh masyarakat umum (common sense), hampir sama dengan materialis, yaitu segala sesuatu diukur dengan materi.
     Padahal makna sesungguhnya dari pragmatis itu tidak seperti apa yang selama ini dipahami secara common sense seperti yang saya sebut di atas. Pragmatis, menurut kamus, adalah memandang segala sesuatu menurut kegunaannya baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Ada juga yang mengartikan pragmatis adalah, berpegang teguh pada kenyataan yang ada (realitas) dan berfaedah untuk umum. Orang orang yang memaknai pragmatis seprti ini disebut Pragmatisme.
     Sementara itu, dalam filsafat ada aliran yang disebut Filsafat Pragmatisme atau Eksperimentalisme. Demikian juga dalam teori kebenaran, ada aliran kebenaran yang disebut dengan Teori Pragmatisme.
     Filsafat pragmatisme atau eksperimentalisme ini, menurut Charles M. Stanson, dalam M. Thoyyibi l994, muncul pada akhir abad l9 dan awal abad 20 yang kemudian melahirkan pandangan populis di kalangan pemimpin Amerika.
     Secara intlektual, filsafat ini berakar pada pandangan dan tulisan seorang pemikir rasionalis dari Skotlandia, William James, dan filsuf John Dewey.
     Masyarakat Amerika secara historis, lanjut Stanson,  adalah imigran dari Eropa yang datang ke benua Amerika untuk mencari kebebasan, karena ingin terlepas dari ikatan ikatan keluarga, masyarakat, dan juga negara. Rata rata pendidikan mereka rendah dan kurang memadahi. Karena itu, mereka mulai membangun komunitas dengan tradisi, peradaban dan cara berfikir yang bersifat populis, yaitu suatu cara berfikir yang sederhana yang bisa dipakai untuk menyelesaikan kebutuhan hidup sehari hari secara praktis.
     Karena itu, aliran filsafat prgamatisme ini tidak memiliki kerangka pemikiran yang komprehensif. William James dan John dewey, sebagai peletak dasar aliran ini, hanya mengabsraksikan realitas yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat Amerika itu sendiri, yaitu sebuah masyarakat yang sederhana yang tidak terlalu berorentasi pada masalah2 filosofis seperti halnya masyarakat Yunani.
     Aliran Pragmatis ini  tidak banyak tertarik pada konsep pemikiran (mind). Aliran ini berpendapat bahwa cukuplah bagi mereka untuk mengetahui bahwa otak itu bekerja, tetapi mereka tidak perlu mengetahui bagaimana otak itu bekerja, karena yang tahu bagaimana otak bekerja itu urusan dan tantangannya para ilmuwan. Pikiran, menurut Pragmatisme, tidak memiliki kualitas kulaitas msitik atau spiritual dan tidak ada kekuatan super natural yang mempengaruhinya. Mind itu merupakan kata kerja dan bukan kata benda, sebagaimana ungkapan ngkapan ini, 'Mind your manners' atau 'Mind the store'. Manusia mengetahui keberadaan mind melalui pengamatan terhadap aktivitas manusia, karena mind bukan merupakan prilaku acak sebagaimana yang terdapat pada jenis jenis binatang yang lebih rendah, melainkan merupakan prilaku manusia yang bersifat purposif.
     Gagasan (ideas), menurut Prgmatisme, yang merupakan paramount di dalam filsafat filsafat tradisional, dianggap tidak lebih dari sekedar pengertian, pemikiran, atau citra yang disadari. gagasan tersebut memiliki bentuknya di dalam pemikiran manusia dan manusia menjadi sadar akan keberadaan gagasan tersebut. gagasan tidak berada di tempat lain di luar manusia, semacam cosmic mind ( pikiran kosmik ) atau natural order of the universe ( tatanan realitas alam semesta) kecuali di dalam pikiran manusia.
     Konsep inti dari Pragmatisme, simpul Stanson,  adalah Pengalaman manusia. Melalui pengalaman, manusia mengembangkan realitas yang melingkupinya. Dalam bentuknya yang mendasar, pengalaman dengan suatu transaksi antara diri manusia dengan sesuatu di sekitar lingkungannya yang kemudian masing masing mengalami perubahan.
     Transaksi menggerakkan impuls untuk memahami situasi, dia memulai suatu proses pemecahan masalah. Dia memulai serangkaian aksi untuk menemukan apa yang sedang terjadi dan bagaimana memanfaatkannya. Menurut Pragmatisme, manusia terlahir sebagai pemecah masalah (problem solver), mereka suka menggambarkan segala sesuatu. Manusia memperoleh kepuasan besar dari proses pemecahan masalah ini. Dalam bentuknya yg lbh pasti, pemecahan masalah disebut metode ilmiah, tetapi untuk peristiwa peristiwa biasa, manusia menggunakan metode mereka sendiri untuk memecahkan masalah masalah yang timbul.
     Semua manusia pada hakekatnya adalah peneliti dalam aktivitas hidup sehari hari dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi. John Dewey memberikan suatu gambara bagaimana proses seseorang memecahkan persoalan. Mula mula dia menghadapi persoalan, lalu dia mempunyai hipotesis, setelah itu dia menguji gagasan sesuai dengan hipotesis yang dimilikinya, dan akhirnya dia sampai pada solusi. Yang jadi persoalan adalah bahwa setiap orang akan mendapatkan solusi atau kesimpulan masing masing yang berbeda, meskipun metode yang digunakan sebenarnya sama.Selama ini, kalau ada orang atau tokoh mau mengerjakan sesuatu jika mendapatkan imbalan/hasil berupa materi (uang), maka orang tersebut disebut pragmatis. Dalam ranah politik, kalau ada politisi yang orentasisnya hanya materi juga disebut prgmatis. Maka istilah prakmatis, selama ini yang dipahami oleh masyarakat umum (common sense), hampir sama dengan materialis, yaitu segala sesuatu diukur dengan materi.
     Padahal makna sesungguhnya dari pragmatis itu tidak seperti apa yang selama ini dipahami secara common sense seperti yang saya sebut di atas. Pragmatis, menurut kamus, adalah memandang segala sesuatu menurut kegunaannya baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Ada juga yang mengartikan pragmatis adalah, berpegang teguh pada kenyataan yang ada (realitas) dan berfaedah untuk umum. Orang orang yang memaknai pragmatis seprti ini disebut Pragmatisme.
     Sementara itu, dalam filsafat ada aliran yang disebut Filsafat Pragmatisme atau Eksperimentalisme. Demikian juga dalam teori kebenaran, ada aliran kebenaran yang disebut dengan Teori Pragmatisme.
     Filsafat pragmatisme atau eksperimentalisme ini, menurut Charles M. Stanson, dalam M. Thoyyibi l994, muncul pada akhir abad l9 dan awal abad 20 yang kemudian melahirkan pandangan populis di kalangan pemimpin Amerika.
     Secara intlektual, filsafat ini berakar pada pandangan dan tulisan seorang pemikir rasionalis dari Skotlandia, William James, dan filsuf John Dewey.
     Masyarakat Amerika secara historis, lanjut Stanson,  adalah imigran dari Eropa yang datang ke benua Amerika untuk mencari kebebasan, karena ingin terlepas dari ikatan ikatan keluarga, masyarakat, dan juga negara. Rata rata pendidikan mereka rendah dan kurang memadahi. Karena itu, mereka mulai membangun komunitas dengan tradisi, peradaban dan cara berfikir yang bersifat populis, yaitu suatu cara berfikir yang sederhana yang bisa dipakai untuk menyelesaikan kebutuhan hidup sehari hari secara praktis.
     Karena itu, aliran filsafat prgamatisme ini tidak memiliki kerangka pemikiran yang komprehensif. William James dan John dewey, sebagai peletak dasar aliran ini, hanya mengabsraksikan realitas yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat Amerika itu sendiri, yaitu sebuah masyarakat yang sederhana yang tidak terlalu berorentasi pada masalah2 filosofis seperti halnya masyarakat Yunani.
     Aliran Pragmatis ini  tidak banyak tertarik pada konsep pemikiran (mind). Aliran ini berpendapat bahwa cukuplah bagi mereka untuk mengetahui bahwa otak itu bekerja, tetapi mereka tidak perlu mengetahui bagaimana otak itu bekerja, karena yang tahu bagaimana otak bekerja itu urusan dan tantangannya para ilmuwan. Pikiran, menurut Pragmatisme, tidak memiliki kualitas kulaitas msitik atau spiritual dan tidak ada kekuatan super natural yang mempengaruhinya. Mind itu merupakan kata kerja dan bukan kata benda, sebagaimana ungkapan ngkapan ini, 'Mind your manners' atau 'Mind the store'. Manusia mengetahui keberadaan mind melalui pengamatan terhadap aktivitas manusia, karena mind bukan merupakan prilaku acak sebagaimana yang terdapat pada jenis jenis binatang yang lebih rendah, melainkan merupakan prilaku manusia yang bersifat purposif.
     Gagasan (ideas), menurut Prgmatisme, yang merupakan paramount di dalam filsafat filsafat tradisional, dianggap tidak lebih dari sekedar pengertian, pemikiran, atau citra yang disadari. gagasan tersebut memiliki bentuknya di dalam pemikiran manusia dan manusia menjadi sadar akan keberadaan gagasan tersebut. gagasan tidak berada di tempat lain di luar manusia, semacam cosmic mind ( pikiran kosmik ) atau natural order of the universe ( tatanan realitas alam semesta) kecuali di dalam pikiran manusia.
     Konsep inti dari Pragmatisme, simpul Stanson,  adalah Pengalaman manusia. Melalui pengalaman, manusia mengembangkan realitas yang melingkupinya. Dalam bentuknya yang mendasar, pengalaman dengan suatu transaksi antara diri manusia dengan sesuatu di sekitar lingkungannya yang kemudian masing masing mengalami perubahan.
     Transaksi menggerakkan impuls untuk memahami situasi, dia memulai suatu proses pemecahan masalah. Dia memulai serangkaian aksi untuk menemukan apa yang sedang terjadi dan bagaimana memanfaatkannya. Menurut Pragmatisme, manusia terlahir sebagai pemecah masalah (problem solver), mereka suka menggambarkan segala sesuatu. Manusia memperoleh kepuasan besar dari proses pemecahan masalah ini. Dalam bentuknya yg lbh pasti, pemecahan masalah disebut metode ilmiah, tetapi untuk peristiwa peristiwa biasa, manusia menggunakan metode mereka sendiri untuk memecahkan masalah masalah yang timbul.
     Semua manusia pada hakekatnya adalah peneliti dalam aktivitas hidup sehari hari dalam rangka memecahkan persoalan yang dihadapi. John Dewey memberikan suatu gambara bagaimana proses seseorang memecahkan persoalan. Mula mula dia menghadapi persoalan, lalu dia mempunyai hipotesis, setelah itu dia menguji gagasan sesuai dengan hipotesis yang dimilikinya, dan akhirnya dia sampai pada solusi. Yang jadi persoalan adalah bahwa setiap orang akan mendapatkan solusi atau kesimpulan masing masing yang berbeda, meskipun metode yang digunakan sebenarnya sama.

'Pragmatisme Sebagai Aliran Filsafat'

Selama ini, kalau ada orang atau tokoh mau mengerjakan sesuatu jika mendapatkan imbalan/hasil berupa materi (uang), maka orang tersebut disebut pragmatis. Dalam ranah politik, kalau ada politisi yang orentasisnya hanya materi juga disebut prgmatis. Maka istilah prakmatis, selama ini yang dipahami oleh masyarakat umum (common sense), hampir sama dengan materialis, yaitu segala sesuatu diukur dengan materi.
     Padahal makna sesungguhnya dari pragmatis itu tidak seperti apa yang selama ini dipahami secara common sense seperti yang saya sebut di atas. Pragmatis, menurut kamus, adalah memandang segala sesuatu menurut kegunaannya baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Ada juga yang mengartikan pragmatis adalah itu dalam aliran filsafat a, berpegang teguh pada kenyataan yang ada (realitas) dan berfaedah untuk umum. Orang orang yang memaknai pragmatis seprti ini disebut Pragmatisme.
     Sementara itu, dalam filsafat ada aliran yang disebut Filsafat Pragmatisme atau Eksperimentalisme. Demikian juga dalam teori kebenaran, ada aliran kebenaran yang disebut dengan Teori Pragmatisme.
     Filsafat pragmatisme atau eksperimentalisme ini, menurut Charles M. Stanson, dalam M. Thoyyibi l994, muncul pada akhir abad l9 dan awal abad 20 yang kemudian melahirkan pandangan populis di kalangan pemimpin Amerika.
     Secara intlektual, filsafat ini berakar pada pandangan dan tulisan seorang pemikir rasionais dari Skotlandia, William James, dan filsuf John Dewey.
     Masyarakat Amerika secara historis adalah imigran dari Eropa yang datang ke benua Amerika untuk mencari kebebasan, karena ingin terlepas dari ikatan ikatan keluarga, masyarakat, dan juga negara. Rata rata pendidikan mereka rendah dan kurang memadahi. Karena itu, mereka mulai membangun komunitas dengan tradisi, peradaban dan cara berfikir yang bersifat populis, yaitu suatu cara berfikir yang sederhana yang bisa dipakai untuk menyelesaikan kebutuhan hidup sehari hari secara praktis.
     Karena itu, aliran filsafat prgamatisme ini tidak memiliki kerangka pemikiran yang komprehensif. William James dan John dewey, sebagai peletak dasar aliran ini, hanya mengabsraksikan realitas yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat Amerika itu sendiri, yaitu sebuah masyarakat yang sederhana yang tidak terlalu berorentasi pada masalah2 filosofis seperti halnya masyarakat Yunani.
     Aliran Pragmatis ini  tidak banyak tertarik pada konsep pemikiran (mind). Aliran ini berpendapat bahwa cukuplah bagi mereka untuk mengetahui bahwa otak itu bekerja, tetapi mereka tidak perlu mengetahui bagaimana otak itu bekerja, karena yang tahu bagaimana otak bekerja itu urusan dan tantangannya para ilmuwan. Pikiran, menurut Pragmatisme, tidak memiliki kualitas kulaitas msitik atau spiritual dan tidak ada kekuatan super natural yang mempengaruhinya. Mind itu merupakan kata kerja dan bukan kata benda, sebagaimana ungkapan ngkapan ini, 'Mind your manners' atau 'Mind the store'. Manusia mengetahui keberadaan mind melalui pengamatan terhadap aktivitas manusia, karena mind bukan merupakan prilaku acak sebagaimana yang terdapat pada jenis jenis binatang yang lebih rendah, melainkan merupakan prilaku manusia yang bersifat purposif.
     Gagasan (ideas), menurut Prgmatisme, yang merupakan paramount di dalam filsafat filsafat tradisional, dianggap tidak lebih dari sekedar pengertian, pemikiran, atau citra yang disadari. gagasan tersebut memiliki bentuknya di dalam pemikiran manusia dan manusia menjadi sadar akan keberadaan gagasan tersebut. gagasan tidak berada di tempat lain di luar manusia, semacam cosmic mind ( pikiran kosmik ) atau natural order of the universe ( tatanan realitas alam semesta) kecuali di dalam pikiran manusia.
bersambung......... (ngantu)

Sabtu, 21 Mei 2011

The Translation Of Surah Al-Infithor Word-for-Word n Global (Belah Sigar, Terbelah, The Cleaving) in Java, Indonesia n English.

Bismillaahirrohmaanirrohiim.

1. Idzas samaa'unfathorot.

    idzaa           : samangsa, ketika, when
    assamaa-u : utawi langit kuwi, adapun langit itu, the heaven
    infathorot    : iku wis pecah opo langit, adalah ia telah terbelah,
                          is cleft asunder

    - Nalikane langit iku wis pecah.
    - Ketika langit itu telah terbelah.
    - When the heaven is cleft asunder.

2. Wa idzal kawaakibuntatsarot.

     wa idzaa         : lan samangsa, dan ketika, and when
     al-kawaakibu : utawi piro piro lintang kuwi, adapun beberapa bintang itu ,
                               the stars
     intatsarot        : iku wis rontok opo lintang, adalah ia telah jatuh
                               berserakan, are scattered

     - lan samgangsa  lintang lintang kuwi wis rontok.
     - dan ketika bintang bintang itu itu sudah telah jatuh berserakan.
     - and when the stars  are scattered

3. Wa idzal bihaaru fujjirot

     wa idza           : lan samangsa, dan ketika, and when
     bihaaru           : utawi piro-piro segoro, adapun lautan-lautan itu,
                               the Oceans
     fujjirot              : iku wis dipancarake, adalah telah dipancarkan,
                               are suffered burst forth

     - Lan samangsa segoro-segoro wis dipancarake.
     - Dan ketika lautan-lautan telah dipancarkan.
     - And when the Oceans are suffered burs fort.

4. Wa idzal qubuuru bu'tsirot.
   
    wa idzaa      : lan samngsa, dan ketika, and when
    al-qubuuru    : utawi piro-piro kuburan kuwi, adapun kuburan-kuburan itu,
                            the Graves     
    bu'tsirot        :  iku wis dibukak lemahe, adalah telah dibungkar,
                             are turned upside down

    - Lan samangsa kuburan-kuburan kuwi wis dibukak lemahe.
    - Dan ketika kuburan kuburan itu telah dibuka tanahnya.
    - nd when the Graves are turned upside down.

5. 'Alimat nafsum maa qoddamat wa akhkhorot.

    'alimat        : mongko bakal weruh, niscaya telah mengetahui,
                         then shall known
    nafsun        : sopo saben saben jiwo, siapa masing masing jiwa,
                          each soul
    maa           : ing opo opo, pada apa apa, what
    qoddamat : kang wis dilakoni, yang telah dikerjakan, it hath sent forward
    wa akhkhorot: lan kang wis dilaleake, dan yang telah dilalaikan,
                             and kept back

    - Mongko saben saben jiwo bakal weruh opo-opo kang wis dilakoni
       lan opo opokang wis diremehne.
    - Niscaya masing masing jiwa telah mengetahui apa-apa yang telah
      dikerjakan
      dan apa apa yang telah dilalaikan.
    - Then shall each soul known what it hath sent forward and
       (what it hath) kept back

6. Yaa ayyuhal insaanu maa ghorroka birobbikal kariimi.

     yaa ayyuhaa : hee eling eling, wahai ingatlah, O
     al-insaanu     : poro menungso, para manusia, men
     maa               : utawi opo, adapun apa, what
     ghorroka       : iku kang wis mbujuk marang siro, adalah yang telah
                              memperdayakan pada kamu, has sduced you
     biroobika      : saking Pangeran siro, terhadap Tuhanmu, from their Lord
     al-kariimi      : kang Moho Luman, yang Maha Pemurah, Most Beneficent

     - He eling eling poro enungso, opo kang wis mbujuk siro
       (nganti durhoko) marang Pangeraniro Kang Moho Luman kuwi? 
     - Wahai manusia, apa yang telah memperdayakan kamu
       (sehingga durhaka) kepada Tuhan kamu Yang Maha Pemurah itu?
     - O men ! What has sduced thee (you) from thy Lord Most Beneficent?

Membangun Budaya Politik Parpol

     Berbicara tentang budaya politik (plotical culture) mau tidak mau harus memperhatikan tiga konsep besar, yakni; nlai (values), norma (norms) dan etika (ethics). Bahkan tiga hal tersebut saling menunjang dan sering kali saling kait mengkait.
     Nila (values) adalah sesuatu yang dijunjung tinggi karena dianggap penting dan merupakan panduan bagi pemiliknya dalam pencarian jati diri. karena sifatnya yang sangat penting, maka harus dikedepankan, harus menjadi skala prioritas, sekaligus menjadi barometer untuk memilah dan memilih.. Memilah mana yang layak dan  tidak layak, memilih mana yang berbobot dan tidak. Memilah mana yang perlu dibela dan mana yang cukup dibiarkan saja. Akhirnya juga untuk memilih apakah sesuatu itu layak dipikirkan dan diperjuangkan.
     Semua itu tergantung pada nilai yang ditetapkan oleh  organisasinya. Suatu parpol yang mengambil konsep kebangsaan dan kerakyatan sebagai nilai misalnya, maka parpol ini mempunyai konsekwensi agar apa yang dipikrkan, disikapi dan diperjuangkan tak lepas dari wilayah itu. Bila sikap, prilaku, danperjuangan partai justru lebih banyak membela kepentingan konglomerat dan sebaliknya membiarkan  (rakyat jelata) terinjak injak haknya, maka partai ini tidak menjadikan nilai kebangsaan da kerakyatan sebagai identitasnya. Mungkin hanya sekedar atribut simbolik yang fungsinya dibatasi pada mobilisasi dukungan. Itu bukan nilai namanya, tapi sekedar untuk abang abang lambe.
      Nilai bagi parpol adalah sebuah kehormatan, suatu harga diri, dan suatu komitmen. Jadi, kalau ada anggota parpol yang sering melanggar nilainya sendiri, maka itu pertanda bahwa yang bersangkutan tidak punya komitmen beraktualisasi melalui wadah parpol.
     Mungkin yang bersangkutan aktif di parpol sekedar iseng belaka, sekedar kararsis. Katarsis itu analog dengan orang yang mampir ke WC umum untuk buang hajat, setelah kebutuhan hajatnya terpenuhi, lalu pergi begitu saja, tanpa ada rasa tanggng jawab membersihkan kotorannya. Ia menganggap bahwa buang kotoran adalah haknya, sedang siapa yang membersihkan tidak mau tahu. Yang jelas orang inilah yang disuruh membersihkannya.
     Nilai bagi parpol haruslah mewarnai sampai ke level yang sedetil detilnya. Perencanaan, program aksi, sampai ke atribut fisik pun semestinya mewadahi nilai yang dirumuskannya sendiri. Dengan demikian, nilai itu mengalami proses pendarahdagingan, merasuk dalam setiap sendi kehidupan anggotanya.
     Nilai memang tidak berbicara soal target, soal hasil, dan aspek fisikal kuantitatif lainnya. Tidak ! nilai adalah suatu abstraksi. Artinya, nlai itu memberi inspirasi dan motivasi dalam berkreasi bagi anggotanya.      
      Memang dibanding pintu masuk yang lain (misal kekuaaan ekonomi, kekuasaan politik, ataupun kekuasaan koersif), kekuasaan nilai ini tidak memiliki daya dorong yang kuat. Bahkan juga tidak memiliki daya paksa yang handal. Kekuasaan nilai lebih bersifat simbolik.
      Karena itu lingkup kerjanya sebatas di wilayah 'kesadaran' (awarness) individu. Boleh dikata, cara kerja nilai merayap, lambat, bersifat akumulatif dan evolusioner. Butuh waktu bertahun tahun, berpuluh tahun bahkan ratusan tahun untuk mencapai tingkat induktif (induction) yang meluas.
     Meskipun lambat dan evolusioner, peran nilai jangan diremehkan. Bila sebuah nilai telah berhasil menjadi ranah keyakinan masyarakatnya, maka nilai itu dapat menjadi lokomotif penggerak masyarakat (social movement) yang sangat efektif. Para anggotanya bisa menjadi militan dalam menjaga nilai nilai tersebut.
     Bila sistem nilai bersatu dengan sistem  keyakinan, tak ada kekuasaan lain (kecuali kekuasaan Tuhan) yang mampu mencegah mobilisasinya. bagi invidu, sistem nilai yang demikian itu, identik dengan kehormatan, harga diri, dan bahkan melebihi harga nyawanya sendiri. Hidupnya sendiri. Orang jawa yang loyal terhadap nilai nilai perjuangan tertentu bisa berbuat sesuatu hingga titik darah penghabisan. Persis seperti yang tersurat dalam jargon; rawe rawe rantas, malang malang putung; pecah ing dada mutah ing ludira. membela keyakinan itu nyaris menyamai prilaku jihad fii sabiilillah. Perang di jalan Allah demi menegakkan agama. Mereka yakin bahwa perangainya itu dijamin akan diganti dengan surga di akhirat kelak.
     Kekuasaan simbolik menurut JB Thomson dalam D. Michel--edt (Communication Theory Today, Cambridge, l991), didefinisikan kemampuan menggunakan bentuk bentuk simbolik untuk mencampuri dan mempengaruhi jalannya aksi atau peristiwa.
     Selanjutnya disebutkan bahwa kekuasaan itu mempunyai banyak bentuk. Kekuasaan ekonomi misalnya, dilembagakan dalam industri, kekuasaan politik dilembagakan dalam aparatur negara, kekuasaan koersif dilembagakan dalam organisasi militer, dan sebagainya.
     Menurut saya, kekuasaan nilai dilembagakan dalam pola pikir. aya lebih tertarik dalam ranah pola pikir, sebab ketika sistem nilai dilanjutkan dalam praksis maka pola pikir akan jatuh ke pola emosional; seperti prasangka, iri dengki, skeptisme membabi buta, dan ekspresi melu grubyuk ga weruh ngrembuk (sekedar ikut ikutan walau tak tahu pokok persoalan)
     Tetapi bila melalui pola pikir, maka tindakannya yang mengacu pada nila tertentu itu sudah berdasarkan evaluasi kritis, sudah melalui pertimbangan yang rasional, sehingga yang bersangkutan mengetahui alasan alasannya mengapa mesti harus berbuat sesuatu.

     Kekuasaan lainnya itu sesungguhnya juga merumuskan nila nilai tertentu sebagai instrumen epistemologis, suatu perangkat makna untuk melegitimasi kekuasaannya.Misal dalam militer, perbuatan disersi adalah suatu perbuatan yang dilarang dan memiliki sanksi yang berat. Hal tersebut karena dalam militer menjunjung tinggi (nilai) dokma sistem komando, loyalitas terhadap atasan, dan sentimen corp.
     Saya ingin menegaskan sekali lagi, bahwa nilai itu merupakan suatu sendi yang menentukan kekohan dalam organisasi.
     Apalagi dalam parpol, nilai bukan bukan hanya sekedar penting, tapi merupakan jati diri kelembagaan. Eksistensi suatu parpol bisa terbaca dari pencitraan simbolik. Penerimaan masyarakat terhadap parpol dapat ditengarai dar brand image--nya.
     Suatu nilai, bentuk dan orentasinya harus menyesuaikan dengan obyeknya. Nilai temtang 'Untung atau Laba' misalnya, lebih pantas dirunjuk untuk urusan perdagangan. Dia akan menjadi paradoks jika diterapkan dalam masalah amal jariyah . Dalam masalah amal jariyah rumusan nilai yang lebih tepat adalah ikhlas atau mengharap ridlo dari Allah semata. Displin fisikal misalnya, lebih cocok untk kalangan militer, ia justru bersifat restriksi di kalangan seniman.
     Selanjutnya nilai 'gotong royong', 'saling tolong menolong' dan 'kerjasama' adalah nilai nilai yang sangat diharapkan dalam ranah kebaikan (konstruktif), tapi menjadi sebaliknya (destruktif) ketika diterapkan untuk menggarong, membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa, atau untuk sindikalisme penguasaan asset orang lain.
     Nilai konflik hanya cocok untuk karya fiksi, bila dijadikan etos dalam proses sosial justru menyebabkan dis-integrasi.
     Nah, dalam politik, nilai apakah yang relevan?
     Politik adalah hal-hal yang bersangkut paut dengan urusan kemaslahatan ummat. Jadi, orentasinya bukan individualtas. Kalau ada partai yang orentasinya individualitas, pasti punya manifestasi yang semakin jauh dari kemaslahatan ummat. Soal seperti apa rumusannya, hal itu sangat tergantung pada kepiawaian partai masing masing.
     Rmusan yang relevan bagi kemaslahatan ummat, tak jauh dari konsep keadilan, transparasi, demokrasi, kesejahtraan rakyat, kemanusiaan, dan sebagainya.
     Nilai nilai yang dirumuskan oleh partai tujuannya membebaskan dari belenggu dan menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Masalahnya, acapkali nilai nilai yang sudah baik itu dipergunakan oleh rezim tertentu hanya sebatas demikepentingan mempertahankan status quo, sehingga efeknya tidak membebaskan, tetapi justru membelenggu. Akhirnya kebeasan hanya sebatas retorika simbolik sementara praksisnya menjadi kohersif dan hegemonik.
     Orde Baru sebagai contoh, sangat piawai membungkus tujuan tujuan koersif dan otoritaria dengan simbol simbol yang menawan hati. Akhirnya nilai hanya sekedar berfungsi sebatas ratio instrumental belaka. Kata kata 'persatuan dan kesatuan' diintrodusir secara besar besran sebagai doktrin, tetapi bermakna kesatuan dalam arti sesuai penafsirannya.
     Kata kata 'demi stabilitas nasional' dimaknai tida boleh mengkritik apalagi berbeda haluan. Demokrasi Pancasila, dimaknai sebatas 'bersih lingkungan' (artinya tidak boleh tersangkut peristiwa 30 September l965). Kata kata 'demi kepentingan umum' dimaknai demi kepentingan konglomerat.
     Inilah yang disebut manipulasi nilai. Jika di dalam partai, nilai nilai hanya dimaknai secara subyektif seperti itu, maka sebagus apapun rumusannya tak bakalan memiliki daya dobrak yang efektif. 
Bersambung.......